Pengikut

Sabtu, 27 Februari 2021

Bibliometric: Standar Baru dalam Penulisan Karya Ilmiah ?

 

Tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan bahwa disruptive ekonomi akhirnya menghampiri “tahta” dunia pendidikan yang selama ini cenderung regulative dan sedikit “arogan”. Kebenaran mutlak ilmiah hanya ada dalam lembaga-lembaga pendidikan yang establish. Stakeholders di luar Lembaga-lembaga tersebut, nyaris tidak berdaya.

Selama lima tahun terakhir ini, perlahan tetap pasti perubahan yang distruptif tersebut semakin nyata. Apalagi dengan adanya turbulensi pandemic Covid 19. Perubahan yang tadinya hanya berkutat pada alat statistic seperti SPSS, eView, AMOS, dan Lisrel, sekedar menyebut contoh, meningkat lagi.

Peningkatan ini terjadi pada aplikasi uji kemiripan (similarity test), misalnya dengan Uji Turnitin, kemudian cara mengutip nama pengarang dan penulisan daftar pustaka, misalnya dengan menggunakan aplikasi Mendeley. Sehingga cara dan metode penulisan karya ilmiah mengalami perubahan total. Tuntutan adanya digital literacy menjadi sebuah keniscayaan.

Seorang dosen dan mahasiswa yang tergagap dari sisi digital literacy, mau tidak mau, harus ada effort khusus untuk menambah skill. Bila tidak, akan semakin tersisih dalam perubahan dunia pendidikan yang masih terjadi. Dan perkembangan terkini, ialah tersedianya aplikasi bibliometric bagi seorang peneliti.

Bibliometrik pada dasarnya merupakan “is the use of statistical methods to analyse books, articles and other publications. Bibliometric methods are frequently used in the field of library and information science. The sub-field of bibliometrics which concerns itself with the analysis of scientific publications is called scientometrics.” Demikian versi Wikipedia. Bahkan bibliometric pun digunakan dalam analisis Big Data.

Sehingga, tidak lama lagi, kita akan sering mendengar kata-kata dalam bimbingan skripsi, tesis dan disertasi, “apakah sudah menggunakan bibliometric?”.

 

Pernah di-posting di Facebook: https://www.facebook.com/robert.kristaung










 

Citation

 

Citation atau kutipan sudah sangat dikenal sejak seseorang menulis karya ilmiah. Bahkan dalam mengambil kutipan dikenal dua format yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung adalah selain menyebutkan sumbernya, ada kalimat yang disisipkan. Kaidah penyisipan pun sudah baku, misalnya kalua kurang dari lima baris, maka menyatu dengan paragraf. Bila lebih dari lima baris kalimat, maka cara penulisannya berbeda.

 

Sehingga dalam etika penulisan, ada kejujuran penulis, yang mana buah pemikiran sendiri, yang mana yang mensitasi pemikiran atau karya orang lain. Bila tidak menyebutkan sumbernya, maka terjadi plagiasi yang dapat dituntut secara hukum, karena sang penulis dianggap mengambil HAKI (Hak-hak Kekayaan Intelektual) karya orang lain. Dan bisa dipidana.

 

Dalam perkembangannya, teknik sitasi tidak lagi dilakukan secara manual, sudah bertebaran aplikasi yang memudahkan seorang penulis atau peneliti, misalnya Mendeley, atau, ketik saja di Google, kata kunci “citation machine”, maka keluarlah berbagai aplikasi sitasi tersebut. Namun sebelum memilih ada baiknya kita meminta rekomendasi pihak-pihak yang memiliki kompetensi untuk memilih aplikasi sitasi yang dipilih. Maklum banyak malware yang menempelkan dalam aplikasi gratisan. Memilih aplikasi harus dari developer yang benar-benar trusted, dari sisi networking maupun computing.

 

Bukan hanya dari sisi itu saja penggunaan sitasi, tetapi juga memiliki dampak terhadap jejak rekam seorang penulis atau peneliti. Yaitu dengan adanya h-index dan i10-index seperti yang bisa dilihat pada google scholar atau kalua pada level nasional dikenal dengan Sinta Score, atau yang lebih prestisius, dari sisi impact factor yang digunakan oleh beberapa jurnal ilmiah terkemuka. Inti dari system pengideksan tersebut adalah untuk melihat seberapa banyak seorang penulis yang memiliki pemikiran, teori, atau apapun bentuknya dirujuk oleh pihak lain. Semakin banyak yang merujuk tulisan-tulisannya, maka indeksnya akan semakin baik dan impak faktornya menjadi tinggi.

 

Dengan demikian, mau tidak mau, para peneliti atau penulis di Indonesia untuk mampu berkibar secara nasional maupun global tidak bisa lagi meremehkan masalah sitasi karena memiliki dampak hukum dan credential sebagai seorang penulis atau peneliti.

 

Bekasi, 15 Februari 2021

 

Salam Takzim


Pernah di-posting di Facebook: https://www.facebook.com/robert.kristaung

Rabu, 24 Februari 2021

Kamis, 18 Februari 2021

Novelty (?)

Belakangan ini ramai dibicarakan tentang novelty dalam riset terutama untuk penulisan disertasi. Novelty yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang peneliti dalam melakukan riset tidak hanya bersifat klise semata. Artinya hanya meneliti sesuatu yang sudah menjadi postulat atau aksioma. Memang ini hal yang biasa terjadi pada berbagai jenjang Pendidikan tinggi.

Tentu yang menjadi tanda tanya adalah mengapa kosa kata ini begitu popular dan “trending” di kalangan mahasiswa (tertutama pendidikan doctoral) belakangan ini. Padahal sudah menjadi ketentuan baku dalam sebuah penelitian, biasanya seorang peneliti dapat dipastikan, terdorong untuk mencari sesuai yang baru, yang menarik, dan berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, pertama adalah dampak kebijakan Menteri Pendidikan Tinggi terdahulu yang menwajibkan dosen untuk mempublikasi karya ilmiah pada publisher yang reputable (Scopus atau WOS) bila ingin naik jenjang jabatan akademik yang lebih tinggi seperti Lektor Kepala dan Profesor. Kedua adalah adanya “kewajiban” bagi para mahasiswa doctoral yang akan menyelesaikan studinya “diharuskan” untuk mempublikasi karya ilmiah dalam jurnal yang reputable. Di lapangan dampak yang kedua disikapi dan dipraktekkan dalam beragam cara. Bahkan, cara-cara tersebut membuat yang paham dengan iklim riset di Indonesia, akan tersenyum kecut.

Mudah sekali kita “membaca” dari fenomena atas kata-kata ajaib “novelty” muncul dari sisi regulative. Artinya pemerintah meningkatkan standar keilmuan pada kalangan akademisi, termasuk mahasiswa doctoral untuk memenuhi standar internasional. Yang menarik justru tidak ada greget atau suara dari perguruan tinggi sendiri secara sadar untuk meningkatkan mutu keilmuannya, dari sisi dosen dan mahasiswa. Semuanya lebih banyak menunggu ‘standar” yang ditentukan oleh pemerintah.

Walaupun sebenarnya, potret dunia pendidikan tinggi kita tidak begitu banyak perubahan seperti yang dideskripsikan oleh Harry J. Benda, Indonesianis dari Cornell University, lebih dari 6 dekade lalu. Lihatlah peringkat Indonesia dari sisi index inovasi global yang selalu tertinggal (https://www.wipo.int/global_innovation_index/en/2020/). Jadi sebenarnya tidak perlu merasa risi dan jengah mendengar kata-kata novelty, karena sudah lama digaungkan, salah satunya adalah Thomas Khun, yang fenomenal dengan buku mahakaryanya, “The Structure of Scientific Revolutions”.

 

Salam takzim.

 

Bekasi, 18  Februari 2021.

Robert Kristaung