Pengikut

Senin, 29 Maret 2021

 Memahami ‘Kesaktian” Persepsi dalam Pemasaran

Persepsi sebagai bagian inti dalam sikap (attitude) dan perilaku (behavior) memainkan peranan kunci dalam pemasaran (manajemen, jasa, dan strategik). Hampir dapat dipastikan pembahasan tentang persepsi memiliki porsi yang relatih cukup besar dalam literatur dan praktik pemasaran. Untuk itu ada baiknya kita melihat pengertian persepsi dalam literatur yang berhubungan dengan pemasaran.

Pengertian persepsi yang berkaitan dengan pemasaran (dan perilaku konsumen) yang mudah dipahami adalah “the process by which individuals select, organize, and interpret stimuli into a meaningful and coherent picture of the world.” (Schiffman & Joseph L. Wisenblit, 2015). Yang intinya menyatakan bahwa persepsi adalah bagaimana seseorang menyeleksi, menata dan menginterpretasikan rangsangan yang dalam dari lingkungan sekitarnya sehingga memiliki makna dan gambaran yang sesuai dengan realita sang individu tersebut. Jadi bisa saja ada suatu objek atau peristiwa yang sama, tetapi bisa diartikan atau dimaknai dengan perbeda antara si A dan si B. Jadi memang persepsi bisa menjadi sangat subjektif.

Dalam pemasaran (jasa) persepsi ditentukan oleh faktor bauran pemasaran, faktor situsional, dan faktor personal atas barang dan jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi oleh konsumen (baca: pelanggan) (Zeithaml et al., 2018). Yang tentunya diharapkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen atau pelanggan sehingga menjadi loyal dan membeli Kembali serta memberi pesan positif bagi konsumen (pelanggan) lain termasuk lingkaran kerabatnya.

Dalam praktik pemasaran, misalnya, sebagai contoh sederhana, produk-produk yang ramah lingkungan masih dipersepsikan sebagai produk dengan harga jual yang premium. Misalnya untuk kategori produk pertanian yang organic dapat dipastikan harga jualnya juga di atas rata-rata produk pertanian yang diklasifikasikan tidak organic (yang sebenarnya kriteria dan regulasinya juga belum jelas). Demikian pula, kualitas dipersepsikan dengan harga, semakin baik kualitas barang, maka harga juga akan semakin lebih mahal. Walaupun tidak selalu demikian, karena dengan adanya inovasi teknologi dan efisiensi produksi sangat dimungkinkan dijual dengan harga yang terjangkau dengan metode pembayaran yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing of power) konsumen.

Demikian pula dengan kulit tubuh, yang selalu dipersepsikan yang bagus adalah kulit putih. Sehingga produk kosmetik yang diembel-embeli dengan whitening akan laku keras. Perubahan nilai konsumen atas minuman tidak mengandung gula juga menjadi persepsi minuman yang more healthy dan tidak dikategorikan sebagai junk food. Hal ini tidak terlepas kesadaran dan perubahan nilai konsumen tentang makanan yang sehat. Masih banyak lagi contoh-contoh yang bertebaran dalam berbagai iklan baik yang menggunakan jalur konvensional seperti televisi dan jalur digital. Intinya, setiap produsen dengan tenaga pemasarannya selalu menggunakan persepsi sebagai salah satu alat yang ampuh untuk mengakuisisi dan mempertahankan konsumen dan pelanggannya.

Salam Takzim

Schiffman, L. G., & Joseph L. Wisenblit. (2015). Consumer Behavior (11e). Harlow, Essex: Pearson Education Limited.

Zeithaml, V. A., Bitner, M. J., & Gremler, D. D. (2018). Services marketing: Integrating Customer Focus Across the Firm. In Business Horizons (7th Edition). New York:  McGraw-Hill Education.

Sekolah Tinggi Parawisata Trisakti
25 Maret 2021



Selasa, 23 Maret 2021

Problem Statement: Research Objective (s) & Research Questions

(Re-run Episode)

Jujur, saya sebenarnya mengalami kejenuhan dalam menulis ulang tentang perumusan masalah penelitian (research problem). Oleh karena, tulisan tentang tema ini pernah dipublikasi pada jurnal Meditek (Kristaung, 1997). Nyaris mencapai seperempat abad lalu, tepatnya, 24 tahun lalu. Dalam tulisan tersebut baru berfokusi pada dua acara dalam merumuskan masalah peenlitian yaitu penghampiran (approach) hirarki dan situasi problematik.

Sejalan dengan kematangan dari sisi kajian literatur, pengajaran dan penelitian, maka teknik dalam membuat atau merumuskan masalah penelitian ditambah menjadi dua, sehingga ada empat cara dalam yang dapat dipilih atau dikombinasikan membuat atau merumuskannya, yang akan dikutip ulang dalam Blog ini (Kristaung, 2011; Hermawan & Kristaung, 2014; Kristaung & Augustine, 2018). Ketiga buku ini secara esensi tidak ada perbedaan dari sisi metodologi, tetapi berbeda dari contoh atau ilustrasi yang disesuaikan dengan bidang keahlian mahasiswa yang diajarkan yaitu sistem dan manajemen informasi, bisnis/manajemen dan akuntansi.

Berikut ini, cuplikan tentang perumusan masalah penelitian yang dimaksud: Pertama adalah penghampiran (approach) kesenjangan (gap) yang merupakan penghampiran tertua dalam ilmu pengetahuan, khususnya untuk kepentingan penelitian, dapat dikatakan sebagai paradigma dikotomi. Artinya memandang realita dari dua kutub yang saling berlawanan secara berpasangan. Konsep-konsep klasik yang kita kenal yaitu: baik vs buruk, pagi vs malam, antagonis vs protogonis, dan seterusnya. Secara praktis, pendekatan kesenjangan melihat antara apa yang ideal atau seharusnya (normatif) dengan realita atau kenyataannya (praktek sehari-hari). Penghampiran ini cukup populer dan sering dipakai sebagai cara yang ampuh dalam mengidentifikasi masalah penelitian. Hanya saja kita harus mampu membedakan mana yang gejala (simptom) dan mana yang merupakan masalah. Kesalahan dalam merumuskan masalah yang sebenarnya adalah gejala sebagai masalah penelitian membuat suatu penelitian menjadi tidak bermanfaat sama sekali. 

Kedua adalah penghampiran hirarki atau berjenjang. Pendekatan ini memiliki landasan filosofis yang bagus, bahwa setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki permasalahan (dilema). Permasalahan tersebut mulai dari masalah operasional, keuangan, akuntansi, pemasaran, dan permasalahan ril lainnya yang sedang dihadapi perusahaan. Kita hanya menyesuaikan dengan bidang dan peminatan yang dikuasai. Namun harus diingat bahwa tidak semua masalah yang dihadapi oleh perusahaan adalah layak diteliti (reseacrhable). Kalau masalah tersebut bisa diselesaikan dengan keputusan manajemen seperti melakukan penggantian mesin baru, memberikan pelatihan terhadap teknisi atau mekanik, maka tidak diperlukan penelitian. Jadi kata kunci dalam pendekatan ini adalah apakah masalah perusahaan tersebut reseacrhable atau tidak. Bila reseacrhable maka perlu dilakukan penelitian yang sebenarnya. 

Ketiga, penghampiran situasi problematik. Pendekatan ini lebih bersifat akademis, dibandingkan dengan dua pendekatan sebelumnya yang lebih bernuansa praksis. Pendekatan ini untuk Indonesia dipelopori oleh John Ihalauw (2000), di mana posisi peneliti bisa berada dalam berbagai situasi problematik, yaitu peneliti tidak tahu harus memulai dari mana, kalau peneliti sudah memiliki sebuah gagasan penelitian ternyata sang peneliti masih tertarik dengan gagasan penelitian lainnya. Intinya setiap peneliti dalam melakukan perumusan masalah penelitian selalu berada dalam situasi problematik.

Keempat, penghampiran berbasis jurnal, Perumusan masalah penelitian berbasis jurnal semakin bisa diterima oleh para peneliti. Apalagi kaidahnya berdasarkan kriteria keilmuan yang universal yaitu suatu penelitian yang baik dan bisa direplikasi oleh peneliti lain atau replicability (Sekaran & Bougie, 2016).

Penyusunan karya ilmiah atau makalah ilmiah adalah suatu proses penalaran (reasoning), perenungan (contempletion), dan pengamatan (observation) dari pihak penulis atau peneliti dalam mengamati, memahami dan memperkirakan (prediction) pada kondisi kekinian (current) dan masa mendatang (future). Suatu karya ilmiah memiliki unsur pertanggungjawaban akademik atas apa yang dikaji atau ditelaah.

Bekasi, 23 Maret 2021

Salam Takzim

 

Referensi

Hermawan A. & R. Kristaung, 2014., Metodologi Penelitian Bisnis, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti.

Ihalauw, John, JOI, (2000). Bangunan Teori Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Kristaung, R. (1997). Mengapa Sulit Membuat Masalah Penelitian. Meditek, 5(11), Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana.

Kristaung, R. (2011). Metodologi Penelitian Sistem Informasi dan Manajemen Informatika, Jakarta: PT Mitra Wacana Media.

Kristaung, R. & Augustine, Y. (2018). Metodologi Penelitian Bisnis dan Akuntansi, Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Sekaran, U., & Bougie, R. (2016). Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

 

 


KL, Msia, 24 Oktober 2019

 

  

Selasa, 16 Maret 2021

 Back Office dan Front Office: Perlu rekonstruksi Praksis Manajemen Pemasaran Jasa?

 

Dalam manajemen pemasaran jasa sudah menjadi kiat baku, dari berbagai literature maupun riset yang menjadi perhatian adalah sisi front office. Artinya apa yang dipersepsikan dan diterima oleh pelanggan menjadi titik sentral perhatian akademisi dan praktisi pemasaran jasa. Memang tetap ada porsi dari sisi back office atau manajemen operasional (kalau mau memakai terminology akademis), tetapi sentranya tetap focus kepada interaksi antara penyedia jasa (service provider) dengan pelanggan.

Adanya pandemi Covid19 memang mengubah segalanya, tidak hanya dalam keseharian baik secara personal maupun interpersonal. Bahkan kata pandemi Covid19 ini mengingatkan era 1990 sampai dengan 2000-an di mana tidak ada kata-kata yang popular seperti globalisasi. Setiap pejabat samapai akademisi selalu mengaungkan kata-kata seperti ini, “dalam era globalisasi saat ini..”. Pola serupa seolah berulang saat ini, hampir dapat dipastikan akan muncul ucapan atau tulisan yang akan menyitir, “dalam situasi pandemi Covid saat ini, kita harus ….”

Saat ini bila para akademisi tidak melakukan penataan ulang terhadap materi perkuliahan yang disajikan dapat dipastikan akan tergerus secara alamiah, termasuk dalam pemasaran jasa, sudah seharusnya dilakukan keseimbangan antara materi operasional yang selama ini agak “dianaktirikan” dibandingkan dengan sisi sumber daya manusia dan pemasaran.

Pertanyaan yang muncul mulai dari mana perubahan ini harus dilakukan? Elsevier salah satu publisher terkemuka telah mengeluarkan publikasi khusus mengenai hal ini dalam Journal of Business Research, September 2020. Kajian yang dilakukan mulai dari sisi perilaku konsumen, ritel, pendidikan tinggi pengelolaan sumber daya manusia, bisnis, etika bisnis, sampai dengan relasi pegawai dan kepemimpinan (Donthu & Gustafsson, 2020). Marilah kita memusatkan pada isyu pemasaran (jasa) seperti apa impak dan solusi yang ditawarkan.

Berdasarkan kajian singkat atas pengamatan akademisi pemasaran (jasa), umumnya belum ada bentuk solusi yang terlalu konkrit, lebih banyak memusatkan perhatian pada dampak, tren dan rekomendasi apa yang harus dilakukan oleh akademisi dan pelaku bisnis (misalnya dari: Mele et al., 2020; Wang et al., 2020; dan  Pantano et al., 2020). Namun demikian, ungkapan He & Harris (2020) yang menyatakan dengan adanya pandemic Covid ini bahwa, “fundamental changes to our lives will affect our beliefs, attitudes, and opinions so that astute marketers will adapt their policies and strategies to reflect,” bisa menjadi pegangan sementara kita.

Bekasi, 16 Maret 2021

Salam Takzim

 

Referensi

Donthu, N., & Gustafsson, A. (2020). Effects of COVID-19 on business and research. Journal of Business Research, 117(June), 284–289. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.06.008

He, H., & Harris, L. (2020). The impact of Covid-19 pandemic on corporate social responsibility and marketing philosophy. Journal of Business Research, 116, 176–182. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.05.030

Mele, C., Russo-Spena, T., & Kaartemo, V. (2020). The impact of coronavirus on business: developing service research agenda for a post-coronavirus world. Journal of Service Theory and Practice, ahead-of-print(ahead-of-print). https://doi.org/10.1108/jstp-07-2020-0180

Pantano, E., Pizzi, G., Scarpi, D., & Dennis, C. (2020). Competing during a pandemic? Retailers’ ups and downs during the COVID-19 outbreak. Journal of Business Research, 116(May), 209–213. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.05.036

Wang, Y., Hong, A., Li, X., & Gao, J. (2020). Marketing innovations during a global crisis: A study of China firms’ response to COVID-19. Journal of Business Research, 116, 214–220. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.05.029

Tokyo, Februari 2019
                                                 

 

 

 

 

 

Senin, 08 Maret 2021

 Kata-kata Ajaib “Strategik”

Entah mengapa kata strategik seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa. Mata kuliah yang menambahkan kata strategik dapat dipastikan menarik minat mahasiswa. Demikian pula dengan pendidikan formal yang menambah embel-embel kata strategik pasti laris manis sepanjang memenuhi ketentuan regulasi tentunya. Sebagai perbandingan, walaupun tidak persis sama, kosa kata digital atau smart juga memiliki daya tarik bagi banyak kalangan.

Kembali ke kosa kata strategik tersebut, ada kemungkinan, walaupun belum tentu benar, berminatnya berbagai kalangan dalam mengikuti pendidikan atau pelatihan yang diberi embel-embel strategik karena ada ekspektasi, dengan mempelajari sesuai yang bersifat strategik, maka mobilitas vertical atau karir akan lebih baik. Hal yang tidak terlalu keliru memang. Karena mempelajari sesuatu yang startegik berarti mulai dari sisi puncak struktur organisasi sampai dengan level operasional yang terbawah. Bayangkan dari sisi kekuasaan (power atau authority), bukankah ini impian semua orang berkarir atau berkarya. Mempelajari sesuatu dari level puncak sampai level operasional siapa yang tidak tertarik.

Dalam bidang manajemen, kosa kata ini melekat dalam mata kuliah manajemen strategik, manajemen sumber daya manusia strategik, dan pemasaran strategik, sekedar untuk menyebut contoh saja. Jujur, kadang kala menghadapi “kejenuhan” dalam proses perkuliahan, karena sebenarnya kosa kata strategik dalam disiplin ilmu manajemen, hanya berputar-putar pada, istilah saya, ilmu tiga jurus, yaitu formulation (baca: planning), implementation, dan control. Biasanya supaya lebih keren lagi untuk control ditambahkan dengan monitoring, evaluation dan reporting. Tinggal tergantung rujukan yang digunakannya.

Kotler baik bersama Keller (2016) maupun Amstrong (2018) konsisten dengan tiga formulasi tersebut, yaitu formulation (planning), implementation, dan control. Sementara Chernev (2014), agak sedikit keren dalam menyajikannya dengan jargon G-STIC (Goal-Strategy-Tactics-Implementation-Control). Namun bisa kita pahami bahwa aspek formulation (planning) adalah sama dengan Goal-Strategy-Tactics.  Namun sebenarnya tulisan ini tidak mempermasalahkan hal tersebut, tetapi lebih ke arah, apakah manajamen atau pemasaran strategik ssuatu super spesialisasi dari ilmu manajemen/pemasaran atau sebenarnya hanya alat atau tools dalam sebuah perencanaan?

Jujur ada kebingungan dalam mempelajari literatur pemasaran yang dimaksud dengan perencanaan strategik. Secara tradisional perencanaan dalam pemasaran tidak terlepas dari penerapan taktik dan aksi segmentasi, targeting dan positioning. Yang biasanya dikombinasikan dengan taktik dan aksi bauran pemasaran, mulai dari perspektif klasik seperti produk, harga, distribusi dan promosi. Kemudian kalau untuk bidang jasa ditambahkan tiga aspek yaitu physical evidence, people dan proses. Sehingga dalam bauran pemasaran jasa dikenal ketujuh aspek tersebut yang dilakukan oleh penyedia jasa (service provider) dengan cara kanonikal. Chernev (2014) juga menyebutkan ada tujuh bauran pemasaran strategik yang perlu dipertimbangkan yakni produk, jasa, merek, harga, insentif, komunikasi, dan distribusi. Bagi yang ingin mengetahui lebih mendalam dari sisi konsep dan implementasi pemasaran strategik dapat membaca dari buku teks yang ditulis oleh Abratt & Bendixen (2019).

Perencanaan strategik dari sisi alat yang paling popular adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities & Threat) yang biasanya untuk pemasaran dilengkapi dengan segmentasi, targeting dan positioning serta bauran pemasaran adalah strategi pertumbuhan, matrik BCG, keunggulan bersaing, keberlanjutan bisnis, dan masih banyak lagi. Hingga ada terminologi yang membuat kita terpanah, misal red, blue & white ocean strategy. Begitu banyak istilah-istilah yang sedemikian canggihnya sehingga membuat kita menjadi bingung sendiri.

 Bisa membantu untuk memberikan pencerahan tentang hal ini?

 Bekasi, 8 Maret 2021

Salam Takzim