Memahami ‘Kesaktian” Persepsi dalam Pemasaran
Persepsi sebagai bagian inti dalam sikap (attitude) dan perilaku (behavior) memainkan peranan kunci dalam pemasaran (manajemen, jasa, dan strategik). Hampir dapat dipastikan pembahasan tentang persepsi memiliki porsi yang relatih cukup besar dalam literatur dan praktik pemasaran. Untuk itu ada baiknya kita melihat pengertian persepsi dalam literatur yang berhubungan dengan pemasaran.
Pengertian persepsi yang berkaitan
dengan pemasaran (dan perilaku konsumen) yang mudah dipahami adalah “the
process by which individuals select, organize, and interpret stimuli into a
meaningful and coherent picture of the world.” (Schiffman & Joseph L. Wisenblit, 2015). Yang intinya menyatakan
bahwa persepsi adalah bagaimana seseorang menyeleksi, menata dan menginterpretasikan
rangsangan yang dalam dari lingkungan sekitarnya sehingga memiliki makna dan
gambaran yang sesuai dengan realita sang individu tersebut. Jadi bisa saja ada
suatu objek atau peristiwa yang sama, tetapi bisa diartikan atau dimaknai
dengan perbeda antara si A dan si B. Jadi memang persepsi bisa menjadi sangat
subjektif.
Dalam pemasaran (jasa) persepsi
ditentukan oleh faktor bauran pemasaran, faktor situsional, dan faktor personal
atas barang dan jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi oleh konsumen (baca:
pelanggan) (Zeithaml et al., 2018). Yang tentunya diharapkan
dapat memuaskan kebutuhan konsumen atau pelanggan sehingga menjadi loyal dan
membeli Kembali serta memberi pesan positif bagi konsumen (pelanggan) lain
termasuk lingkaran kerabatnya.
Dalam praktik pemasaran,
misalnya, sebagai contoh sederhana, produk-produk yang ramah lingkungan masih
dipersepsikan sebagai produk dengan harga jual yang premium. Misalnya untuk
kategori produk pertanian yang organic dapat dipastikan harga jualnya juga di
atas rata-rata produk pertanian yang diklasifikasikan tidak organic (yang
sebenarnya kriteria dan regulasinya juga belum jelas). Demikian pula, kualitas
dipersepsikan dengan harga, semakin baik kualitas barang, maka harga juga akan
semakin lebih mahal. Walaupun tidak selalu demikian, karena dengan adanya inovasi
teknologi dan efisiensi produksi sangat dimungkinkan dijual dengan harga yang
terjangkau dengan metode pembayaran yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing
of power) konsumen.
Demikian pula dengan kulit tubuh,
yang selalu dipersepsikan yang bagus adalah kulit putih. Sehingga produk
kosmetik yang diembel-embeli dengan whitening akan laku keras. Perubahan
nilai konsumen atas minuman tidak mengandung gula juga menjadi persepsi minuman
yang more healthy dan tidak dikategorikan sebagai junk food. Hal
ini tidak terlepas kesadaran dan perubahan nilai konsumen tentang makanan yang
sehat. Masih banyak lagi contoh-contoh yang bertebaran dalam berbagai iklan
baik yang menggunakan jalur konvensional seperti televisi dan jalur digital.
Intinya, setiap produsen dengan tenaga pemasarannya selalu menggunakan persepsi
sebagai salah satu alat yang ampuh untuk mengakuisisi dan mempertahankan konsumen
dan pelanggannya.
Salam Takzim
Schiffman, L. G., &
Joseph L. Wisenblit. (2015). Consumer Behavior (11e). Harlow, Essex: Pearson
Education Limited.
Zeithaml, V. A., Bitner,
M. J., & Gremler, D. D. (2018). Services marketing: Integrating Customer
Focus Across the Firm. In Business Horizons (7th Edition). New York: McGraw-Hill Education.